Makalah Sumber Daya Manusia (SDM) Universitas
Sunday, March 24, 2019
Add Comment
Sumber Daya Manusia (SDM)
1.Pendahuluan
Sumber Daya Manusia (SDM) atau sumber daya nara adalah potensi manusia (kuantitas dan kualitas) dalam konteks kerja terorganisir. Dengan kata lain, SDM merupakan himpunan individu yang membentuk satu kesatuan angkatan kerja (workforce) dari suatu organisasi, sektor bisnis, atau kegiatan ekonomi. Dalam konteks pembangunan, SDM mencakup angkatan kerja di daerah atau negara tersebut, yang bekerja pada berbagai sektor dan lapangan pekerjaan.
Mereka memainkan peranan penting dalam pembangunan daerah itu, dan hal tersebut ditentukan oleh kuantitas maupun kualitas angkatan kerja. Pada akhirnya, peranan mereka dalam pembangunan ditentukan oleh jasa produktif mereka dalam bentuk pengetahuan, keterampilan, dan sikap pada bidang tertentu.Usahawan (entrepreneur) merupakan salah satu bentuk SDM penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara.
Aktivitas mereka dapat menggerakkan laju pertumbuhan ekonomi suatu negara,dan pertumbuhan ekonomi tersebut diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Pertumbuhan ekonomi sejumlah negara maju seperti Jepang, USA, Korea Selatan, China, Israel, dan Singapura tidak dapat dipisahkan dari peranan entrepreneurnya (Ernst & Young, 2011; Longbao, W.2009; Obisi & Anyim, 2012; WCDS, 2013). Hal ini terkait dengan apa yang disebut dengan TEA, (Total Entrepreneurial Activity)1, yakni suatu Indikator pertumbuhan entrepreneurship.
Beberapa negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi 1Indikator pertumbuhan entrepreneurship (Total aktivitas kewirausahaan/TEA adalah banyaknya orang yang baru memulai usaha (starting entrepreneur), dan jumlah pemilik usaha selama 5 tahun terakhir (young entrepreneur).
2 seperti China, Denmark, Korea Selatan, USA, Israel, dan Singapura mampu mencapai TEA yang optimal.Dua negara yang disebutkan terakhir, yakni Israel dan Singapura adalah dua contoh negara yang pembangunannya sangat ditentukan oleh peranan entrepreneur karena dalam keadaan ketiadaan atau rendahnya sumberdaya alam, keduanya menunjukkan keperkasaan ekonominya oleh karena peranan yang genting yang dimainkan oleh para entrepreneur mereka.
Sebaliknya, Nigeria terancam menjadi salah satu negara yang miskin di dunia karena tidak memiliki kelas entrepreneur yang berkualitas dalam meningkatkan pembangunan ekonomi (Obisi dan Anyim, 2012).Pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga dapat memicu munculnya entrepreneur-entrepreneur baru dari kelas menengah (middle class). Munculnya entrepreneur-entrepreneur baru di kelas menengah mampu membawa Korea Selatan menjadi salah satu negara berpendapatan tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan aktivitas entrepreneur yang tinggi pula.
Negara-negara berkembang yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan aktivitas entrepreneurial yang rendah, dalam banyak pengalamansulit mencapai pendapatan ekonomi kelas tinggi. Posisi ini merupakan salah satu faktor yang menjebak suatu negara masuk dalam Middle Income Trap(MIT)
2. Negara-negara yang terperangkap dalam pendapatan kelas menengah sulit untuk keluar menuju ke pendapatan tinggi karena struktur ekonomi tidak lagi mampu menopang terjadinya pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Struktur ekonomi yang dimaksudkan ditentukan oleh aktivitas ekonomi, pengelolaan sumber daya alam, dan potensi sumber daya manusia. Sumber daya yang ada di sektor primer hanya bisa menyumbangkan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan pada tingkat tertentu saja.
2 MIT (Middle Income Trap) adalah keadaan ekonomi suatu negara di mana pendapatan ekonomi masyarakat mengalami kemandegan dan terperangkap pada aras menengah (middle income) sehingga negara tersebut tidak dapat bergerak ke tingkat pendapatan masyarakat yang tinggi (High Income Country).
3 Untuk mencapai negara/daerah berpendapatan tinggi, ia harus melakukan transformasi struktural dari sistem ekonominya yang berbasis produksi primer ke industri sekunder (manufaktur) hingga industri tersier. Produksi primer berupa (hasil mentah pertanian, pertambangan, dsb) diolah menjadi barang jadi maupun setengah jadi (manufaktur/industri sekunder) hingga industri tersier yakni produknya dalam bentuk penyediaan dan pelayanan jasa termasuk perdagangan.Dalam transformasi struktural ini, entrepreneur merupakan elemen yang penting untuk mendongkrak produktivitas sistem ekonomi sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.Pada hakekatnya entrepreneur berperan sebagai inovator, manajer, pemilik perusahan (owner), spekulator, koordinator, pembuat keputusan dan pencipta kesempatan. Lebih khusus, dalam konteks pembangunan suatu daerah atau negara, aktivitas entrepreneur memampukan sistem dengan mengkoordinasi dan menghimpun sumberdaya dalam jejaring bisnis dan sosial yang ia miliki (pengetahuan informal, jejaring usaha, informasi, dll) serta melakukan aktivitas inovasi. Dalam konteks penciptaan inovasi, entrepreneur menghasilkan ide, produk maupun sistem yang kreatif, sehingga menghasilkan produk dan jasa dengan daya saing yang tinggi. Keduanya, yakni peranannya dalam penghimpunan sumberdaya melalui jejaringnya maupun peranannya dalam penciptaan inovasi, pada gilirannya akan meningkatkan daya saing (competitiveness) wilayah atau daerah tersebut, serta berujung kepada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan pekerjaan (Verheul, et al. 2001., Lal, A.K., dan Clement, R.W. 2005) Pertumbuhan ekonomi dan penciptaan pekerjaan, melalui pengembangan daya saing entrepreneur dapat dilakukan melalui kebijakan negara.Dimana Negara melalui kebijakannya dapat merupakan faktor pemicu tumbuh dan berkembangnya entrepreneurship. Sebagai contoh adalah kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah negara India yang memfasilitasi tumbuhnya UKM baru melalui penyederhanaan registrasi bagi UKM baru dengan
4 prosedur yang lebih sederhana (simple).
Dimana pusat kawasan industri tidak lagi menanggung beban administrasi pendaftaran UKM yang baru, atau sistem one stop service, yang diterapkan oleh sejumlah pemda di Indonesia dapat menolong penjaminan status legal dari wirausaha para entrepreneur pemula dengan mudah. Demikian pula, kebijakan soal pembayaran pajak bagi suppliers dikenakan hukuman keterlambatan. Kebijakan demikian, sebagaimana kita lihat dalam kasus pemerintah India berdampak pada aktivitas entrepreneur, perdagangan, buruh/tenaga kerja, berhasil diimplementasikan dalam menumbuhkan dan mendukung sektor industri pengolahannya dengan pendapatan sekitar 45% dari GDP dan kegiatan ekspor mencapai 40% (Asghar et al., 2011). Praktek yang dilakukan di India sebenarnya dapat diterapkan di Indonesia. Jika dilihat dari kebijakan yang berlaku di Indonesia, maka ada beberapa kebijakan di tingkat nasional yang dapat mendorong pengembangan entrepeneurship pada level makro antara lain: Peraturan Presiden RI Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, Peraturan Pemerintah RI Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan, Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 136/M-IND/PER/12/2010 tentang peta panduan (road map) pengembangan industri unggulan Provinsi Sulawesi Utara. Dalam kaitan ini, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan untuk mendorong penguatan entrepreneurship melalui penataan tata ruang wilayah lewat Undang-undang RI Nomor 39 Tahun 2009 tentang KEK, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2008 tentang Pengembangan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh di Daerah, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 12 tahun 2010 Tentang Minapolitan, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 32 Tahun 2010 tentang Penetapan Kawasan Minapolitan dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 2014 tentang KEK Bitung. Kebijakan-kebijakan di atas, perlu didukung oleh perubahan kebijakan berupa penyederhanaan prosedur pendirian usaha di Indonesia sebagaimana yang dilakukan oleh Pemerintah India.
0 Response to "Makalah Sumber Daya Manusia (SDM) Universitas "
Post a Comment