-->

Tugas Hukum Perusahaan Fakultas Hukum

1. Benturan antara kepentingan yang terjadi dapat diselesaikan melalui pihak ketiga yang independen sebagai mediator pemilik dan agen. Pihak ketiga ini berfungsi memonitor perilaku manajer sebagai agen dan memastikan bahwa agen bertindak sesuai kepentingan pemilik. Saya berpendapat bahwa untuk mengatasi masalah-masalah antara principal dan agen dibutuhkan pihak ketiga yang independen. Pihak ketiga yang independen ini dimaksud adalah auditor eksternal yang independen, agen dapat membuktikan bahwa kepercayaan dari pemilik tidak diselewengkan untuk kepentingan pribadi agen.

Hukum Perusahaan


Hukum Perusahaan
 Prinsipal juga dapat memiliki keyakinan yang lebih besar kepada agen dan dapat mengetahui sebaik apa kondisi perusahaan dibawah pengambilan keputusan agen atau manajemen sebagai agen. Untuk mengurangi dan meminimalisir timbulnya biaya perlu menghadiri kepemilikan saham oleh manajer, karena dengan memiliki saham perusahaan dan transparansi perusahaan, manajer merasakan langsung manfaat dari setiap kebijakan yang dibuatnya.

 
Dengan demikian manajemen akan membuat kebijakan  keputusan yang rasional dan sekecil mungkin tidak menimbulkan (agency cost) karena manajemen dapat merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambilnya akibat memiliki saham dalam perusahaan tersebut dan pihak ketiga selaku independen bertugas untuk terus memantau dan mengaudit segala aktifitas dan pergerakan dalam perusahaan tersebut. Maka demikian benturan kepentingan antara pemilik perusahaan dan manjemen kecil kemungkinan akan terjadi seperti : 

  1. Permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja.
  2. Suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalai dalam melaksanakan tugas.

SAHAM


Saham merupakan salah satu unsure yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah Perseroan Terbatas. Saham merupakan tanda penyertaan modal dalam suatu perusahaan (PT) sebagai tanda bukti kepemilikan modal. Berdasarkan Pasal 48 ayat (1) UUPT, saham tersebut dikeluarkan atas nama pemilikinya sehingga menjadi tanda bukti kepemilikan atas saham suatu PT. Pihak yang akan atau ingin memiliki saham harus mememuhi persyaratan kepemilikan saham yang dapat ditetapkan dalam anggaran dasar PT tersebut dengan memperhatikan persyaratan yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika dalam hal pesyaratan kepemilikan saham telah ditetapkan dan tidak terpenuhi, pihak yang memperoleh kepemilikan saham tersebut tidak dapat menjalankan hak selaku pemegang saham dan saham tersebut tidak diperhitungkan dalam kuorum yang harus dicapai sesuai dengan ketentuan UUPT dan/atau anggaran dasar; yang dimana hal tersebut diatur dalam Pasal 48 ayat (2) dan (3) UUPT. Tingkat kepemilikan dilihat dari jumlah prosentase saham yang dimana setiap saham     telah terscantum nominal saham tersebut. Berdasarkan Pasal 49 UUPT, nilai nominal     suatu saham harus dicantumkan dalam mata uang rupiah, saham tanpa nilai nominal tidak     dapat dikeluarkan. Dalam hal ini tidak menutup kemungkinan diaturnya pengeluaran     saham tanpa nilai nominal dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Kepemilikan atas suatu saham, memberikan hak pada pemilik saham. Hak-hak tersebut     diatur dalam Pasal 52 ayat (1) UUPT, yakni:

  • a.    Menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS;
  • b.    Menerima pembayaran deviden dan sisa kekayaan hasil likuidasi:
  • c.    Menjalankan hak lain berdasarkan UUP
  •  
Menurut pendapat saya tentang pemberlakuan nominal saham tidak akan berdampak     banyak bagi investor. Sebab selama ini investor public menghitung emiten dari nilai     bukunya yaitu total ekuitas dibagi dengan jumlah saham yang beredar di pasar, Jika ingin     aturan penghapusan nilai nominal saham  berlaku maka sebelumnya UU Perusahaan     Perseroan diselaraskan terlebih dahulu. Sebab kalau tidak ada penyelarasan. Maka modal     perusahaan bias berakibat nol. Jangan sampai ada benturan UU Perusahaan yang berlaku     di Indonesia. Kalau sudah selaras peniadaan nilai nominal saham tidak akan ada masalah     lagi.

Pengaturan mengenai laporan tahunan perseroan terbatas di atur pada Bab IV Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”). Berikut di bawah ini akan diuraikan mekanisme penyampaian Laporan Tahunan kepada RUPS. 

Direksi bertugas membuat laporan tahunan perseroan, dan kemudian disampaikan kepada     dewan komisaris untuk ditelaah dan setelah itu baru disampaikan kepada Rapat Umum     Pemegang Saham (“RUPS”). Tenggang waktu penyampaian laporan tahunan kepada     RUPS adalah paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku perseroan berakhir,     sebagaimana di atur dalam Pasal 66 ayat (1) UUPT.

Berdasarkan Pasal 66 ayat (2) UUPT, laporan tahunan harus memuat:
  • a.    laporan keuangan, paling sedikit memuat neraca akhir tahun buku yang lampau dalam perbandingan dengan tahun buku sebelumnya,
  • b.    laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan,
  • c.    laporan arus kas,
  • d.    laporan perubahan ekuisitas dan catatan atas laporan keuangan tersebut.
  • e.    laporan mengenai kegiatan perseroan.
  • f.    laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang mempengaruhi kegiatan usaha perseroan.
Laporan mengenai tugas pegawasan yang telah dilaksanakan dewan komisaris selama tahun buku yang baru lampau.
Nama anggota direksi dan anggota dewan komisaris.

Gaji dan tinjauan bagi anggota direksi dan gaji atau honorarium dan tunjangan anggota     dewan komisaris perseroan untuk tahun yang baru lampau. Laporan keuangan tersebut wajib disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan.     Standar akuntansi keuangan tersebut merupakan standar yang ditetapkan oleh Organisasi     Profesi Akuntan Indonesia dan diakui Pemerintah Republik Indonesia.

Menurut saya dalam UUPT sebenarnya tidak diatur adanya sanksi apabila RUPS     Tahunan tidak diselenggarakan dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun     buku berakhir.Jadi, UUPT saat ini tidak mengatur mengenai sanksi mengenai tidak     dilaksanakannya kewajiban menyelenggarakan RUPS Tahunan dalam waktu paling     lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir.

Namun, Direksi tetap wajib menyelenggarakan RUPS Tahunan sebagai salah satu kewajibannya menjalankan kepengurusan perseroan sebaik-baiknya dengan memberikan laporan tahunan Perseroan dalam RUPS Tahunan. 

Ditegaskan pula bahwa pada prinsipnya RUPS Tahunan diadakan untuk mengesahkan perbuatan hukum direksi, rencana kerja, alokasi dana, serta laporan kegiatan PT, neraca dan sebagainya. Dalam UUPT memang tidak disebutkan bagaimana kalau lewat waktu enam bulan setelah tahun buku berakhir dan tidak diadakan RUPS     Tahunan. Tapi logikanya, kalau tidak ada pengesahan, artinya belum selesai tanggung jawab PT pada tahun tersebut.Oleh karena itu, jika telah lewat 6 bulan setelah tahun bukuberakhir maka tidak boleh lagi dibuat RUPS tahunan. Sehingga, laporan pertanggungjawaban, penggunaan kekayaan PT dan lain-lain yang dilakukan direksi  dalam tahun tersebut tidak bisa disahkan.
 
Suatu Perseroan mendapat status sebagai badan hukum pada tanggal diterbitkannya surat keputusan menteri dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai pengesahan badan hukum perseroan
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 4 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas (UUPT) berbunyi: “Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan”.
Setelah tahu kapan Perseroan memiliki statusnya sebagai badan hukum, sekarang kita masuk pada tanggung jawabnya. Tanggung jawab direksi atas segala perbuatan hukum Perseroan yang belum berbadan hukum menjadi tanggung jawab direksi secara pribadi dan/atau bersama-sama dengan organ perseroan yang lain seperti Dewan Komisaris atau Pendiri (pemegang saham). Jadi jika perseroan mengalami kerugian maka harta pribadi direksi bisa disita untuk membayar kerugian yang timbul.

Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 14 ayat (1) UUPT yang menyatakan “perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status Badan Hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota  Dewan Komisaris Perseroan, dan mereka semua bertanggung jawab secara renteng atas perbuatan hukum tersebut”.
Selanjutnya, Dalam hal Perseroan sudah berbadan hukum, maka direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi atas segala perbuatan hukum yang dilakukan atas nama Perseroan. Sehingga jika Perseroan mengalami kerugian, maka yang disita adalah harta perseroan saja. Harta direksi tidak boleh ikut disita.

Hal terakhir ini memang tidak diatur secara tegas dalam UUPT, tapi dari pasal 14 ayat 1 UUPT di atas, kita dapat memahaminya dengan menafsirkan secara terbalik (a contrario). Ditambah lagi dengan beberapa putusan Mahkamah Agung, seperti Putusan MA No. 268 K/Sip/1980, Putusan MA No. 597 K/Sip/1983 yang inti dalam putusannya menganut prinsip bahwa perbuatan hukum direksi atas nama Perseroan yang sudah berbadan hukum, menjadi tanggung jawab Perseroan sebagai badan hukum dan bukan tanggung jawab direksi secara pribadi. Sehingga jika terjadi kerugian, yang boleh disita adalah harta Perseroan dan bukan harta pribadi direksi.

Menurut pendapat saya, perbuatan direksi atas nama perseroan yang belum berbadan hukum menjadi tanggung jawab direksi dan organ perseroan yang lain secara pribadi. Sedangkan, perbuatan direksi atas nama Perseroan yang sudah berbadan hukum menjadi tanggung jawab Perseroan dan bukan tanggung jawab pribadi direksi lagi.

 
Pada dasarnya bank menjalankan prinsip kepercayaan yang diberikan oleh penyimpan dana untuk menjaga kerahasian rekening nasabahnya. Oleh karena hubungan bank dan nasabah adalah bersifat kerahasiaan. Hal ini sering disebut dengan rahasia bank. Istilah rahasia bank ini mengacu kepada hal-hal yang berhubungan dengan interaksi antara bank dan nasabahnya. Nasabah tentu tidak mengharapkan bank untuk memberitahu pihak ketiga tentang keadaan keuangan nasabah tersebut.


Kerahasiaan informasi yang lahir dalam kegiatan perbankan ini pada dasarnya lebih banyak untuk kepentingan bank itu sendiri,karena sebagai lembaga keuangan,kepercayaan adalah keutamaan dalam melaksanakan kegiatannya. Untuk menjamin hal itu,pemerintah telah hak-hak nasabah dengan undang-undang,yaitu undang-undang perbankan.

 
Konsep rahasia bank bermula timbul dari tujuan untuk melindungi nasabah yang     bersangkutan. Timbulnya pemikiran untuk merahasiakan keadaan keuangan nasabah     bank sehingga melahirkan ketentuan hukum mengenai kewajiban rahasia bank adalah     semula bertujuan unuk melindungi kepentingan nasabah secara individual.


 
Namun rahasia bank dapat dikesampingkan bila terjadi perkembangan sehubungan     dengan keadaan politik dalam negeri, keadaan sosial, terutama menyangkut timbulnya     kejahatan-kejahatan dibidang money laundering.

Dikarenakan kegiatan dunia perbankan mengelola uang masyarakat, maka bank wajib menjaga kepercayaan yang diberikan masyarakat. Bank wajib menjaga keamanan uang tersebut agar benar-benar aman. Agar keamanan uang nasabahnya terjamin, pihak perbankan dilarang untuk memberikan keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal -hal lain dari nasabahnya. Dengan kata lain, bank harus menjaga rahasia tentang keadaan keuangan nasabah dan apabila melanggar kerahasiaan ini perbankan akan dikenakan sanksi

0 Response to "Tugas Hukum Perusahaan Fakultas Hukum"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel