Novel ~ Monik dan Kaos Kaki
Saturday, May 4, 2019
Add Comment
Novel Monik dan Kaos Kaki
Monik dan Kaos Kaki
Oleh Kak Mohammad Irfan Ramly
Dia selalu percaya atas semua yang telah dilakukannya. Dia percaya kebahagiaan pasti akan datang karena dia telah berusaha mengundang nya. Dia percaya kebahagian adalah takdir, sesuatu yang hanya perlu dinanti dengan berpikir tentangnya.
Dia percaya kebahagian akan datang untuk mereka-mereka yang telah berusaha keras, membuat yang tiada menjadi ada walau meski terkadang kembali menjadi tiada.
Dia percaya kegagalan. Kegagalan yang membuatnya yakin dengan tak pernah berhenti mengirim pesan setiap malamnya. Dia percaya suatu saat kotak pesan itu akan penuh dan meluap keluar maka di saat itulah dia yakin Tuhan akan mengabulkan permintaannya.
Matanya menyapu langit-langit. Abu- abu melekat di dinding, dia merasa pelan- pelan menyatu. Lompatan- lompatan material yang melingkari nya menyentuh setiap inci tubuhnya, ingatan-ingatan berubah menjadi barisan gambar-gambar yang
berputar berulang-ulang. Bayangannya konstan di balik remang-remang lampu meja. Raut nya datar, ruang kosong kembali disaji di dalam cermin. Tak ada suara di dua malam terakhir, pertama karena dia tak memilih pulang dan membiarkan kosong ruang fantasi nya dan kedua karena dia tak lagi ingin berbicara apa-apa.
Laki-laki diam yang tahu bagaimana caranya tenang menghadapi gelombang dan menyebutnya indah dengan sebutan ombak itu lupa bagaimana membenarkan posisi duduknya, dia baru lagi merasakan jatuh dan bertanya-tanya di mana letak pegangan yang pantas untuk menahannya.
Tangannya mencoba meraih teralis, menerobos tirai dan menjamah daun jendela untuk menemukan dingin tiap tetes air yang melucur bebas dari atap tapi ternyata diapun lupa bagaimana rasanya dingin. Dirinya sendiri sudah lebih dari sekedar pantas untuk disebut kedinginan. Perasaannya membeku, kaki tangannya pucat. Dia menggigil meski tetap yakin bahwa bagian tebal bertuliskan kecewa itu tetaplah akan selesai.
Baginya setiap manusia memilih jalan dan hanya yang memilih jalanlah yang mengerti bagaimana curamnya turunan dan bagaimana tajamnya tikungan dan bahkan ketika semua orang menghakiminya dengan menyebutnya dengan sakit serta memvonis kalah sekalipun, manusia yang memilih itu tetaplah pemenang, hidup masih akan ada dan datang lagi padanya kecuali pilihan sesudah itu melambung melampaui takdir. Dia tidak memilih mati, dia memilih sakit, dia memilih kalah karena terlanjur percaya kegagalan adalah jalan terbaik menuju takdir yang pasti lebih baik.
“Manusia akan selalu berada di persimpangan dan waktu tak akan pernah menunggu. Manusia harus selalu memilih jalan, bukan dengan cepat tapi dengan tepat. Kadang kita seperti mendahului takdir
dengan membayangkan akhir, padahal sesungguhnya perjalanan manusia dihidup ini adalah perjalanan menuju pulang, akan selalu ada banyak yang datang dan pergi tapi yang tetap dan selamanya itu pasti dipertemukan. Kita hanya perlu menjalani hidup ini hingga selesai, itu yang pilihan yang paling tepat.”
Laki-laki itu ingat benar bahwa hidup adalah tentang menikmati berapa kali keliru, berapa kali khilaf atau bahkan berapa kali salah dalam memilih. Perempuan itu selalu mengingatkan bahwa hidup adalah belajar menjalani proses. Salah memilih berarti menerima gagal, menerima gagal berarti menerima kecewa dan hanya dengan kecewa manusia akan tahu bagaimana caranya berbesar hati.
“Setelah ini aku yakin kamu tidak akan pernah lagi mau menggubrisku. Aku yakin bagimu aku setelah ini tak lebih dari orang jahat yang merampas
kebahagiaanmu, merampas hatimu dan terlebih-lebih merampas hidupmu. Kamu baik maka sebaiknya aku memilih pergi karena belum ingin merasa terlalu baik atas hidup ini,” laki-laki di hadapannya hanya memandang lurus, tak bergeming sedikitpun. Bagi perempuan itu laki-laki yang menjalani tiga setengah tahun terakhir bersamanya terlalu diam, terlalu sabar dan terlalu baik untuknya.
“Aku sudah menyakitimu satu kali dan aku tak ingin lagi melakukan itu meski kamu telah memaafkan itu. Kamu yang selalu bilang bahwa hanya kamu yang benar- benar mengerti tentang aku jadi aku percaya kamu juga pasti tahu benar bahwa aku menginginkan laki-laki itu, aku ingin hidup dengannya, entah untuk apa dan untuk berapa lama tapi saat ini aku hanya ingin itu.”
Monik berkali- kali jatuh dalam hidupnya. Dia kehilangan semua bagian terbaik dalam hidupnya. Rumah mungil dan keluarganya hanyut dibawa badai, dia selamat karena bersembunyi dibawah tempat tidur. Kaos kaki meyelamatkannya. Monik tidak pernah bertanya lagi kecuali menaruh hidupnya di dalam kaos kaki. Dia kesepian menjalani hidupnya tapi dia tak pernah merasa sendirian, kaos kaki yang terjatuh di bawah tempat tidur itu membuatnya melompat dan ternayata detik kemudian setelah itu badai datang dan menyisakan dirinya yang memeluk kaos kaki wol rajutan ibunya.
Monik hanya butuh kaos kakinya untuk melanjutkan hidupnya.
“Kita tidak pernah akan tahu, kapan kita terjatuh dalam hidup. Menghadapi itu kita hanya cukup untuk ingin merasa sakit karena dengan itu kita akan cukup sadar bagaimana cara yang baik untuk menghadapinya.”
Setelah badai usai, Monik keluar dari runtuhan rumahnya dan menemukan ayah ibunya tewas dibawah reruntuhan. Monik tidak menangis saat itu, Monik juga tidak pernah menangis setelah itu. Mayat kedua orangtuanya dibawa petugas dan dia tidak pernah tahu di mana mayat kedua orangtuanya tersebut dimakamkan. Monik pergi menuju padang rumput, dia berhenti di bawah pohon besar dan tertidur. Dia bermimpi, dunianya berada di dalam kaos kaki, di sana dia hidup bahagia sebagai pemilik kebun bunga yang selalu mekar tanpa mengenal musim.
Di dunianya itu hanya ada musim hujan, selalu basah dan selalu dingin maka dia hanya perlu dibekap kaos kakinya, hanya kakinya karena mimpi itu meyakinkan Monik bahwa ketika kakinya hangat dia akan mampu berdiri dan menghadapi apapun. Setelah terbangun Monik akhirnya pergi dan menemukan sebuah kebun bunga milik sebuah keluarga kecil yang juga habis ditelan badai.
Di sanalah Monik tinggal, membenarkan sedikit tempat untuk tidur dan lebih peduli dengan taman bunga yang datang dalam mimpinya. Monik sadar dia sendirian, tak punya apa-apa dan akan selalu merasa kedinginan maka pilihan terbaik untuk menghadapi itu adalah dengan mengenakan kaos kaki wol abu-abunya sepanjang hari. Bukan untuk tidak merasa dingin, tapi untuk bisa merasakan energi panas yang mengalir di dalam tubuhnya untuk membuatnya percaya dia masih akan terus hidup. Hidup butuh Monik sebagai pelaku, dan Monik butuh kaos kaki sebagai pilihan sekaligus alasan akan harapan.
Monik dan kaos kaki adalah dongeng terbaik baginya. Cerita pengantar tidur atau pelipur kesedihan paling logis menurutnya. Perempuan itu yang mengantarkan cerita itu untuknya, perempuan itu ingin anak laki-lakinya percaya tentang Monik dan kaos kaki. Anak laki-laki itu memang akhirnya percaya, baginya Monik diberikan kesulitan tapi tidak benar-benar ditinggalkan. Monik memiliki pegangan hidup. Monik percaya kaos kakinya adalah berkah baginya, bagian yang sudah ditakdirkan dan tak akan pernah meninggalkan kecuali ditinggalkan.
“Aku tidak ingin mati kaku. Semua ini terlalu ideal dan akhirnya ego ini memintaku untuk memutuskan. Berat memang kehilangan bagian sebaik ini, kamu dan segala hal yang selalu mampu kamu hadirkan sebagai bukti perasaan kamu.biarkan sekali ini aku menentukan jalanku, bukan karena terkekang olehmu tapi sekali lagi merasa dirimu terlalu baik.”
Perempuan yang terus berusaha menemukan mata laki-laki yang hanya diam di hadapannya itu akhirnya membenarkan posisi duduknya. Posisi terakhir sebelum kalimat terakhirnya, laki – laki itu sadar benar tapi dia tetap memilih tak berkata apa-apa, tetap diam dan seperti hanya harus menjadi pendengar.
“Kalau suatu hari kamu menemukan pengganti, belajarlah marah—belajarlah untuk menggugat apa-apa yang tak kau kehendaki. Benar semuanya akan indah pada waktunya tapi kamu tidak akan menemukan manusia seperti malaikat yang menjalani hidup dan menerima takdir sebagaimana ditulis karena di mata aku kamulah satu-satunya malaikat itu.”
Malam itu akhirnya mengabur. Tak ada air mata di sana, laki-laki itu sadar alam telah mewakili perasaannya dengan hujan lebat tanpa henti di dua malam terakhir. Laki-laki itu kembali kehilangan, dia terjatuh bahkan mungkin sebut saja di lubang yang sama, dia belajar tapi tak pernah memilih jalan baru. Dia dan gagal adalah seperti Monik dan kaos kaki, sebuah pegangan yang harus menjadi kepercayaan agar berubah menjadi keyakinan. Dia percaya setiap kegagalannya akan dibayar semestinya dengan apa yang diharapkannya, seperti Monik yang tak pernah menggugat setiap kesakitan dalam hidupnya hanya karena kaos kakinya.
Laki-laki yang mematung untuk melihat hujan itu akhirnya berbalik. Dia ingat benar semua wejangan ibunya, dia ingat benar bagaimana setiap perih yang akhirnya mampir di hidupnya telah dipersiapkan dengan baik penawarnya oleh perempuan itu. Laki-laki itu membuka lemari dan meraih sebuah bagian tersembunyi. Tangannya menggenggam 2 lembar bahan wol dengan bentuk yang sangat familiar. Perempuan itu telah tiada, tapi laki-laki itu ingat benar setiap pesannya.
“Kalau malam dingin dan kamu tak sanggup melawannya, kenakan ini. Percayalah bukan cuma Monik yang bisa, kamupun begitu. Dingin memang tidak akan bisa dicegah, dingin juga tidak akan bisa dilawan tapi kamu bisa membuat semuanya menjadi masuk akal untuk dijalani dengan memiliki keyakinan dengan kaos kaki ini ketika kamu kedinginan anakku.”
Sebaris senyum hadir, cepat sekali dan tak tertangkap. Laki-laki itu memilih tidur dengan mengenakan kaos kaki walaupun hujanpun telah memilih pulang. Baginya, dia tetap tidak akan pernah tahu kapan dia akan jatuh dalam hidup begitupun soal cinta. Jatuh adalah sesuatu yang tidak mampu dipikirkan, jatuh karena sakitnya adalah seuatu yang tidak akan pernah mau direncanakan maka begitu manusia hanya perlu menjalani takdirnya tanpa perlu marah dan menggugat, setiap tempat telah disediakan untuk setiap manusia dan hanya perlu waktu serta keinginan untuk jatuh lebih dalam untuk tiba pada takdir. Sakit itu baik, sakitpun mampu untuk dipilih seperti Monik yang memilih kaos kaki.
0 Response to "Novel ~ Monik dan Kaos Kaki"
Post a Comment